Denganmemakai pendapat madzhab Syafi’i yang mengartikan quru’ sebagai masa suci akan lebih cepat selesai daripada bila mengartikan quru’ sebagai masa haid seperti pendapat Shalat dikatakan sah apabila rukun-rukun shalat itu sendiri terpenuhi. Adapun pelaksanaan rukun rukun shalat itu sendiri dari 4 mazhab beberapa pendapat dari masing masing pelaksanaannya. Perbedaan 4 mazhab dalam perkara shalat1. Niat Apakah perlu melafaskan niat nawaitu saat hendak melaksanakan shalat?Jawabannya adalah 4 Mazhab sepakat bahwa niat itu adalah wajib sedangkan mengungkapkannya dengan kata-kata adalah hal yang tidak diminta lafas niat tidak perlu. Ibnu Qayim berpendapat bahwa, Nabi Muhammad SAW saat hendak shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu Akbar”, tanpa mengucapkan kalimat apa pun sebelumnya, dan tidak melaksanakan niat sama sekali. 2. Takbiratul IhramTakbiratul ihram yang akan dibahas adalah perbedaan mengucapkan “Allahu Akbar” posisi saat mengangkat tangan dan juga dimana tangan diletakkan setelah Takbiratul ihram dilakukan. Pengucapan Takbiratul ihram Mazhab Syafi’i berpendapat BOLEH mengganti “Allahu Akbar” dengan “Allahu Al-Akbar” ditambah dengan alif dan lam sebelum kata “Akbar” Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa TIDAK BOLEH menggunakan bahasa lain selain “Allahu Akbar” Lantas bagaimana dengan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa BOLEH dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia. Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam bukan orang Arab. Hanafi Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. Diantara perbedaan di atas persamaan yang dapat diambil bahwa semua Mazhab berpendapat bahwa Takbiratul Ihram adalah WAJIB hukumnya dan dengan mengucapkan kata “Allahu Akbar” yang didengarkan olehnya sendiri ataupun orang lain. Posisi Tangan Saat Takbiratul Ihram Ada beberapa posisi tangan saat mengucapkan “Allahu Akbar” ada yang mengangkat tangannya sejajar dengan bahu, sejajar dengan telinga dan ada juga yang mengangkat tangan berada di depan dada, manakah di antara posisi tangan ini yang sesuai dengan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa cara mengangkat tangan saat takbiratul ihram dan saat hendak ruku serta bangkit dari ruku adalah mengangkat kedua tangan sampai setinggi pundak atau bahu, yaitu berdasarkan hadits berikut Dari Salim bin Abdullah dari Bapaknya, “bahwa Rasulullah tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukuk” Bukhari No. 693 Bagi pria kedua tangan membentang ke samping dengan lebar. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Az Zubair, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi`b dari Muhammad bin Amru bin Atho` dari Muhammad bin Tsauban dari Abu Hurairah, dia berkata; “Bahwasanya Rasulullah jika berdiri untuk shalat beliau mengangkat tangannya dengan membentang.” Ahmad No. 10086 Berbeda dengan Mazhab Maliki dan Syafi’i Mazhab Hanafi berpendapat bahwa bagi lelaki mengangkat tangan dan meluruskan ibu jari saat takbiratul ihram dan saat hendak ruku serta bangkit dari ruku adalah mengangkat kedua tangan dan meluruskan ibu jari sampai setinggi telinga yaitu berdasarkan hadits berikut dari Nashr bin Ashim dari Malik bin Al Huwairits katanya; Nabi mengangkat tangannya ketika memulai shalat, ruku’ dan saat mengangkat kepala `I’tidal dari ruku’, hingga kedua telinganya.” Ahmad No. 19626 Hadis lain, Telah menceritakan kepada kami Waki’ Telah menceritakan kepada kami Fithr dari Abdul Jabbar bin Wa`il dari bapaknya ia berkata “Saya melihat Rasulullah mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat hingga kedua ibu jarinya menyentuh kedua daun telinganya.” Ahmad No. 18094 Madzhab Hambali Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bagi laki-laki boleh memilih mengangkat tangan setinggi bahu /pundak atau sampai ke telinga karena Imam Ahmad meriwayatkan hadits baik yang menyebutkan setinggi telinga maupun pundak Nailul Authar Jilid 2 Hal. 179-183 Kesimpulan dari perbedaan tinggi mengangkat tangan saat takbiratul ihram adalah dapat dilakukan sejajar atau lebih tinggi dari daun telinga dengan ibu jari rapat dengan jari-jari lainnya juga dapat diregangkan sedangkan wanita hanya mengangkat tangan setinggi bahu saja. Tapi tak menutup diri dari sahnya shalat ketika laki laki mengangkat tangan hanya setinggi bahu karena dari ke semua cara tersebut tersebut terdapat hadis yang menyertainya. Letak Tangan setelah Takbiratul IhramDimana letak tangan setelah Takbiratul Ihram? Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa tangan diletakkan di bawah pusar Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, “Termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat”.HR. Ahmad dan Abu Daud. Mazhab Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa tangan diletakkan pada posisi antara dada dan pusar. Dan bahwa posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia. Al-Muzani w. 264 H menyebutkan dalam kitab Mukhtasharnya Dan mengangkat kedua tangan ketika takbir sampai sebatas pundak, lalu bersedekap dengan telapak tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri. Lalu meletakkannya dibawah dada. Bagaimana dengan meletakkan tangan di dada? Di antara 4 Mazhab tidak ada satupun yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW shalat dengan mendekap tangan di dada setelah takbiratul ihram kecuali untuk wanita. Kesimpulannya ialah pada saat shalat setelah takbiratul ihram tangan dapat diletakkan di bawah pusat dan di antara pusat dan dada, namun tidak ada satu Mazhab pun yang meletakkan tangan di dada kecuali bagi wanita. 3. Berdiri bagi yang mampu Semua Mazhab sependapat bahwa berdiri adalah hal yang wajib, bila tidak mampu berdiri, maka ia duduk, dan jika ia tidak mampu duduk maka dia dapat melakukannya dengan cara berbaring dengan menghadapkan badan ke arah kiblat. Semua ulama Mazhab selain Hanafi berpendapat bahwa jika tidak dapat duduk, maka shalat dilaksanakan dengan tidur terlentang dengan kaki menghadap Bacaan Al FatihahBacaan Al-Fatihah terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara 4 Mazhab Mazhab Hanafih berpendapat bahwa membaca Al Fatihah dalam shalat Fardhu itu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh. Hal ini didasarkan pada Al-Quran surat Muzammil ayat 20 “Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” Mazhab Hanafih juga berpendapat bahwa tidak mesti membaca “Basmalah”, karena ia tidak termasuk dari bagian dari surat. Dan boleh membacanya secara keras atau pun pelan. Boleh untuk didengarkan sendiri maupun dengarkan oleh orang lain. Mazhab Syafi’i sendiri berbeda pendapat dengan Mazhab Hanafih Mazhab Syafi’i mewajibkan bacaan Al-Fatihah setiap rakaat baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah dan basmalah merupakan bagian dari surat. Al-Fatihah dijaharkan pada 2 rakaat pertama pada shalat Shubuh, Maghrib dan juga Isya, rakaat selebihnya dengan suara pelan. Sedangkan Mazhab Maliki hampir sama dengan mazhab Syafi’i, yang mewajibkan semua bacaan Al Fatihah disetipa rakaat baik itu shalat wajib maupun shalat sunnah, perbedaannya ialah dalam hal membaca basmalah, Maliki berpendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surat dan disunnahkan untuk ditinggalkan. Lantas bagaimana dengan Mazhab Hambali, wajib membaca surat Al Fatihah namun basmalah merupakan bagian dari surat tetapi harus dibaca dengan pelan. Perkara “Amin” Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.” 5. Ruku’ Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak dan juga perbedaan dalam mengucap Subahaana rabbiyal adziim. Maszhab Hanafih adalah satu-satunya yang berpendapat bahwa thuma’ninah tidak diwajibkan hanya membungkukkan badan dengan lurus. Sementara Mazhab yang lain wajib thuma’ninah dengan membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya. Syafi’i, Hanafi, dan Maliki tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan Subhaana rabbiyal ’adziim “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung” Hambali membaca tasbih ketika ruku’ adalah menurut Hambali Subhaana rabbiyal ’adziim “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung” Hanafi tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal dalam keadaan berdiri.Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu dianggap makruh bagi Mazhab-mazhab yang lain wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan Sami’allahuliman hamidah ”Allah mendengar orang yang memuji-Nya” 6. Sujud Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. Maliki, Syafi’i, dan Hanafi yang wajib menempel hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. Hambali yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain wajib duduk di antara dua sujud. 7. Perkara Tahiyat Tahiyat itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu tahiyat awal yang dilakukan pada rakaat kedua dan tahiyat akhir yang dilakukan di rakaat ketiga atau ke empat dalam shalat. Hambali tahiyyat pertama itu wajib sedangkan Mazhab-mazhab lain berpendapat hanya sunnah. Syafi’i, dan Hambali tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi hanya sunnah, bukan wajib. 8. Mengucapkan salam. Syafi’i, Maliki, dan Hambali mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi tidak wajib. Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu Assalaamu’alaikum warahmatullaah “Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian” Hambali wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. Demikianlah perbedaan dalam melaksanakan shalat menurut 4 mazhab semoga bisa menjadi pelajaran tambahan dan hikmah sehingga mendapatkan ke Ridho an Allah SWT. note dalam perkara jangan mencampur campurkan mazhab, di Indonesia Mazhab yang umum dilakukan adalah Mazhab Hambali dan Syafi’i, namun jika kita shalat berjamaah dan dipimpin oleh imam yang menggunakan mazhab Hanafi, maka kita harus menyesuaikan.
Didalam makalah ini penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath masing-masing imam mazhab yang empat, yaitu imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn
Para santri tingkat awal belajar fiqih melalui kitab kecil seperti Safinah dan Taqrib. Ini kitab fiqih berdasarkan mazhab Syafi'i. Baru kemudian meningkat pada kitab syarh-nya seperti Kasyifatus Saja dan Fathul Qarib. Seiring naik tingkat, para santri akan mengenal kitab fiqih Syafi'i kelas menengah seperti Fathul Mu'in dan syarhnya seperti I'anah. Lanjut kemudian dengan kitab fiqih babon mazhab Syafi'i seperti Minhaj-nya Imam Nawawi. Dengan asumsi dasar-dasar fiqih Syafi'i sudah kokoh, para santri senior kemudian dikenalkan dengan keragaman pendapat di luar mazhab Syafi'i. Di bawah ini saya tuliskan sedikit catatan mengenai sejumlah kitab fiqih yang merangkum 4 mazhab fiqih Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Di luar 4 mazhab juga ada mazhab lain seperti Zhahiri, Jafari, Zaidi dan mazhab lain yang sudah tak ada pengikutnya lagi seperti Abu Tsaur, Auza'i, Thabari. Di luar itu juga masih ada opini lain dari individual ulama yang kadang kala berbeda dengan pendapat mazhabnya. Namun sekarang kita fokuskan saja dulu ke-4 mazhab. Yang saya cantumkan ini adalah kitab yang merangkum 4 mazhab, bukan kitab yang ditulis oleh ulama mazhab tertentu yang kemudian mencantumkan dan mengomparasikannya dengan mazhab lain-kitab kategori ini misalnya al-Mughni Ibn Qudamah, al-Majmu' Imam Nawawi atau Hasyiah Ibn Abidin. Pertama, kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A'immah. Ini kitab fiqih yang merangkum pendapat dari keempat mazhab. Disusun berdasarkan bab fiqih standar. Tidak ada pencantuman dalil, diskusi maupun pandangan penulisnya. Ini hanya merangkum saja. Tidak lebih. Fungsinya hanya membantu kita mengetahui adakah perbedaan pendapat dalam satu kasus. Judul kitab ini menyifatkan pesan khusus bahwa perbedaan pendapat fiqih para imam mazhab itu adalah rahmat untuk umat. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa kitab al-Mizanul Kubra. Biasanya dicetak bareng dengan Kitab Rahmatul Ummah pada hamisy atau pinggir. Dalam kitab ini sudah ada penjelasan singkat terhadap pendapat yang dirangkum, bahkan Imam Sya'rani pengarang kitab al-Mizanul Kubra ini juga memaparkan pandangannya dengan memberikan pertimbangan mana pendapat fiqih yang ringan dan mana yang berat untuk dilaksanakan. Rasanya belum ada kitab terjemahnya dalam bahasa Indonesia CMIIW.Ketiga, kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Di pesantren modern seperti Gontor kitab ini dibaca oleh para santri senior, namun di pesantren salaf tidak semuanya mengajarkannya. Kitab ringkas 4 juz ini bukan saja merangkum perbedaan pendapat tapi juga menjelaskan sebab perselisihannya. Dalil juga dicantumkan hanya saja cukup terbatas. Saya rekomendasikan untuk membaca juga kitab Syarh-nya yang menjelaskan lebih detil mengenai dalil yang dicantumkan Ibn Rusyd. Maklum saja kitab ini memang sekedar permulaan saja bidayah. Anda tidak bisa mengklaim sebagai mujtahid hanya karena membaca kitab ini. Kitab ini sudah diterjemahkan ke bahasa kitab yang lebih luas dari Bidayatul Mujtahid adalah kitab al-Fiqh 'ala Mazahabil Arba'ah. Kitab 5 jilid ini disusun oleh Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ini sudah ada di aplikasi android arab. Saya pernah lihat terjemahannya juga sudah ada di Gramedia. Pembahasannya lebih kengkap dari ketiga kitab di atas. Kelima, kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebut-sebut sebagai yang paling lengkap merangkum opini 4 mazhab. Ditulis oleh kumpulan para ulama yang disponsori oleh pemerintah Kuwait. Terdiri dari 45 jilid yang pembahasannya berdasar alfabet arab. Jelas ini memudahkan untuk mencari topik pembahasan. Anda cukup mencari kata kunci dan melacaknya berdasarkan huruf hijaiyah. Tentu ini berbeda dengan kitab fiqih standar yang berdasarkan topik dan selalu dimulai dengan pembahasan masalah thaharah. Di bagian akhir kitab ensikopledia fiqih Kuwait ini memasukkan info mengenai nama dan bio singkat para pembahasannya setelah mengurai defenisi, kemudian menyebutkan persoalan pokok dalam entry fiqih yang sedang dibahas, setelah itu menyebutkan perbedaan pandangan para ulama yang diurai dengan sistematis berikut masing-masing dalilnya. Kelemahannya adalah tidak adanya diskusi maupun analisis perbandingan. Sedari awal ini disadari oleh penyusunnya dan itulah sebbanya mereka memilih judul mausu'ah atau tentu masih ada kitab fiqih muqarin perbandingan lainnya seperti karya Syekh Wahbah al-Zuhaili yang berjudul al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu yang isinya 9 jilid dengan jilid ke-10 berisi index dan maraji'. Syekh Wahbah al-Zuhaili juga menulis Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah 14 jilid. Syukur alhamdulillah kedua kitab fiqih modern ini sudah bisa diunduh di sedikit penjelasan mengenai kitab fiqih perbandingan mazhab. Karakter fiqih itu memang membuka ruang perbedaan pendapat. Jadi tidak perlu kafir-kafiran gegara beda pendapat. Gak perlu mem-bully ulama yang punya fatwa berbeda. Semua Imam Mazhab punya fatwa yang dianggap nyeleneh atau kontroversial. Sekadar menyebut beberapa contoh sajaImam Syafi'i bolehkan anak hasil zina dinikahi oleh "bapak" biologisnya karena nasab disandarkan ke ibunya. Apa kita berani bilang Imam Syafi'i itu Yai Zina? Memangnya kita siapa dibanding beliau?Imam Malik mengatakan anjing itu suci, tidak najis. Ini beda dengan mazhab lainnya. Apa berani kita nyinyiri beliau dengan membully mengatakan beliau itu Yai Anjing? Na' Abu Hanifah membolehkan minum nabidz dalam kadar tidak memabukkan. Mazhab lain mengharamkan. Apa kita berani komen beliau itu Yai Tukang Minum? Kacau kan!Imam Ahmad mengatakan batal wudhu sehabis makan daging unta, mazhab lain mengatakan tidak batal. Apa berani kita nyindir beliau itu Yai Unta? Ngawur banget kita!Imam Dawud al-Zhahiri bilang lemak/tulang babi tidak haram, yang haram cuma dagingnya. Mazhab lain membantah dengan keras. Tapi tidak ada ulama mazhab lain yang mencaci maki beliau dengan sebutan Yai Babi! Gak sampai ulama fiqih itu sebelum mengeluarkan fatwa akan memeriksa dalil dan kaidah usul al-fiqhnya dulu. Lha kita bisanya cuma nyinyir. Jumhur ulama juga belum tentu benar pendapatnya. Kebenaran dalam Islam ditentukan lewat kekuatan dalil bukan banyak-banyakan jumlah pengikut, apalagi pakai turun ke jalan dan teriak "bunuh-bunuh".Fatwa itu tidak mengikat. Sebagai contoh, kalau tidak cocok dengan fatwa Kiai Ma'ruf Amin, boleh pilih fatwa Gus Mus. Gak cocok dengan Gus Mus, pilih fatwa Mbah Moen. Mau pilih pendapat saya juga boleh, fiqih itu memang meniscayakan beda pendapat. Tak usah memaksakan pendapat. Semua ulama punya rujukan dan argumen. Semakin kita luaskan bacaan kita dengan membaca kitab fiqih perbandingan mazhab akan semakin toleran kita menyikapi keragaman pendapat. Yang suka memutlakkan pendapatnya atau pendapat ulama yang diikutinya itu bisa ditebak belum luas wawasan dan bacaannya. OK, jelas yah?!Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
WalaupunMazhab Syafi‟i menerima konsep istihalah ini secara umum tetapi membataskanya dengan menegaskan bahwa najis tidak akan menjadi suci walaupun ia telah bertukar menjadi
Buku 10 Persamaan & Perbedaan Antara Madzhab Syafi’iy dan Madzhab Hanbali Mengenai Tata Cara Shalat - Shalat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam yang disyariatkan oleh Allah Swt. Meskipun disepakati bersama bahwa shalat lima waktu adalah wajib, namun perbedaan pendapat mengenai tata cara pelaksanaan shalat tetap terjadi. Dalam hal ini, ilmu fiqih untuk mengenal shalat empat madzhab memiliki pengaruh penting bagi seseorang memahami perbedaan tentang tata cara shalat. Buku karya Muhammad Ajib mencoba menelusuri persamaan dan perbedaan antara dua mazhab yaitu Syafi’I dan Hanbali. Buku yang diberi judul 10 Persamaan & Perbedaan Antara Madzhab Syafi’iy dan Madzhab Hanbali Mengenai Tata Cara Shalat ini memuat empat bab, di antaranya mengenal kitab fiqih kedua madzhab, mengenal ulama ahli fiqihnya, persamaan dan perbedaan tata cara shalat, dan komponen shalat. Persamaan dan perbedaan tata cara shalat yang berjumlah sepuluh itu dijelaskan secara rinci dengan dicantumkan landasan dalilnya. Meskipun demikian penulis nampaknya tidak begitu perhatian dengan bab 1 dan 2 yang hanya menyebutkan nama kitab dan nama ulama masing-masing mazhab. Tidak ada keterangan apapun mengenai mereka. ====== Judul Buku 10 Persamaan & Perbedaan Antara Madzhab Syafi’iy dan Madzhab Hanbali Mengenai Tata Cara Shalat Penulis Muhammad Ajib, Lc., MA. Penerbit Rumah Fiqih Publishing Tebal 118 hlm Tahun 2020 Link Download Buku 10 Persamaan & Perbedaan Antara Madzhab Syafi’iy dan Madzhab Hanbali Mengenai Tata Cara Shalat pdf ====== Saya menduga karena tujuan utamanya adalah mempelajari masalah shalat maka bab 1 dan 2 sekedar menjadi informasi tambahan sehingga kita bisa mengenal dan barangkali tertarik untuk mencari tahu dan mengenalnya lebih jauh. Salah satu persamaan yang dimiliki kedua mazhab dalam tata cara shalat adalah mendahulukan kedua lutut saat sujud. Kedua mazhab bersandar pada hadits yang sama yang berbunyi saya melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam jika hendak sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. hlm. 40 Sedangkan salah satu perbedaannya adalah posisi letak kedua tangan. Menurut fiqih madzhab Syafi’iy disunnahkan meletakkan kedua tangan di atas pusar di bawah dada. Bukan dibawah pusar apa lagi diatas dada persis. Adapun menurut fiqih madzhab Hanbali disunnahkan meletakkan kedua tangan di bawah pusar. hlm. 79 Dua hal di atas dibahas secara detail oleh Muhammad Ajib berdasarkan sumber-sumber fiqih yang dimiliki oleh masing-masing mazhab. Tentu tidak mungkin saya tuliskan juga semuanya di sini. Karena itulah ebook PDF buku ini kami sediakan agar Anda semua dapat mengaksesnya langsung. Adanya buku yang menjelaskan tentang persamaan dan perbedaan antara dua mazhab terutama dalam hal ibadah shalat tentunya patut kita apresiasi. Karena dengan mengetahuinya kita tidak akan mudah menyalahkan tata cara ibadah orang lain, yang mungkin saja berbeda mazhab dengan kita. Saling menghormati menjadi kunci ukhuwah agama kita. [

Pembicaraantentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi yang menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu: pendapat sahabat yang berada di luar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’i berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi, dapat menjadi hujjah. Imam Syafi’i dan Madzhab Shahabi

Fatih Zein Agama Thursday, 08 Jun 2023, 2342 WIB Kajian ini bertujuan untuk menganalisis hukum perbandingan mazhab dalam tradisi hukum Islam. Dengan mempelajari perbedaan dan kesamaan antara mazhab-mazhab fiqih, penelitian ini akan mengeksplorasi metodologi, prinsip, dan dampak dari hukum perbandingan mazhab dalam konteks hukum Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber primer dan sekunder yang relevan, termasuk literatur hukum Islam dan karya-karya ulama terkemuka. Melalui analisis kualitatif, penelitian ini akan menyajikan temuan yang mendalam tentang hukum perbandingan mazhab dan implikasinya dalam praktik hukum Islam. Studi ini menggunakan metode membaca, mengumpulkan bahan, serta merangkumnya menjadi satu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengolahan dan analisis data. Metode membaca merupakan kegiatan yang penting dalam kehidupan sehari-hari karena membaca tidak hanya memperoleh informasi saja tetapi juga sebagai alat untuk memperluas pengetahuan seseorang. Mazhab merupakan pendekatan atau landasan yang digunakan oleh Imam mujtahid untuk memecahkan masalah dan menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Perbandingan mazhab telah dikenal sejak zaman sahabat hingga saat ini, sebagai respons terhadap perbedaan pendapat yang muncul setelah wafatnya Rasulullah terkait fenomena kontemporer. Tujuan perbandingan mazhab adalah untuk menghindari sikap taqlid yang sempit, mempromosikan saling menghargai, dan mencari kebenaran. Mempelajari perbandingan mazhab memiliki manfaat, seperti memperoleh pemahaman dasar dan aqidah yang dapat menjadi pedoman hukum serta menyelesaikan masalah dengan sikap saling menghargai. Dalam studi mazhab, empat mazhab terkenal yang digunakan secara luas di seluruh dunia adalah mazhab hanafi, maliki, syafi'i, dan hambali. Studi perbandingan mazhab juga meliputi berbagai masalah fiqh yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam mempelajari perbandingan mazhab, penting untuk memahami kewajiban muqarin, langkah-langkah kajian fiqh muqaranah, dan hukum dalam mengamalkan hasil perbandingan mazhab. Semua ini harus diketahui dan dipahami oleh individu yang berkewajiban menjalankannya. Dalam Islam, terdapat variasi mazhab atau aliran pemikiran hukum yang telah muncul sejak zaman awal Islam. Mazhab-mazhab ini berakar dari interpretasi dan penafsiran berbagai sumber hukum Islam, seperti Al-Qur'an, Hadis, dan pandangan ulama terkemuka. Salah satu konsep penting dalam studi hukum Islam adalah "hukum perbandingan mazhab", yang bertujuan untuk memahami perbedaan dan kesamaan antara mazhab-mazhab tersebut. Hukum perbandingan mazhab adalah kajian tentang perbedaan pendapat hukum yang terdapat di antara mazhab-mazhab fiqih dalam Islam. Fiqih adalah cabang ilmu dalam Islam yang mengurus hukum dan peraturan kehidupan Muslim. Tujuan utama dari hukum perbandingan mazhab adalah untuk memahami dan menghargai keragaman pendapat yang ada dalam tradisi hukum Islam. Salah satu prinsip dasar dalam hukum perbandingan mazhab adalah prinsip "ikhtilaf" atau perbedaan pendapat. Prinsip ini mengakui bahwa dalam hukum Islam, terdapat ruang untuk adanya perbedaan pendapat yang sah di antara ulama. Setiap mazhab memiliki pendekatan dan metodologi yang berbeda dalam menafsirkan sumber-sumber hukum, sehingga terjadi perbedaan dalam penentuan hukum. Namun, walaupun terdapat perbedaan pendapat, hukum perbandingan mazhab menekankan pentingnya dialog dan kerjasama antara mazhab-mazhab tersebut. Tujuannya adalah mencapai kesepakatan yang lebih luas dan mencari solusi terbaik dalam menghadapi isu-isu hukum yang kompleks. Dalam konteks ini, mazhab-mazhab saling berbagi pengetahuan, argumen, dan bukti-bukti untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum Islam. Hukum perbandingan mazhab juga berperan penting dalam menangani isu-isu kontemporer yang tidak tercakup secara spesifik dalam sumber-sumber hukum klasik Islam. Ketika menghadapi tantangan baru, ahli hukum Islam dapat merujuk pada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab lain dan menggunakan prinsip hukum perbandingan mazhab untuk mencari solusi yang sesuai dengan konteks zaman modern. Perlu dicatat bahwa hukum perbandingan mazhab bukanlah metode untuk menggabungkan mazhab-mazhab menjadi satu atau menciptakan mazhab baru. Tujuannya adalah menganalisis perbedaan dan kesamaan dalam pemikiran hukum Islam serta memahami konteks historis dan metodologis di balik perbedaan-perbedaan tersebut. Meskipun demikian, hukum perbandingan mazhab juga dihadapkan pada tantangan dan kritik. Beberapa kritikus khawatir bahwa penekanan yang berlebihan pada perbedaan. perbandingan mazhab hukum islam Disclaimer Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku UU Pers, UU ITE, dan KUHP. Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel. Berita Terkait Terpopuler di Agama Terpopuler Tulisan Terpilih A Riwayat Hidup Madzhab Imam Syafi’i dalam Fiqih. 1. Riwayat Hidup. Beliau bernama Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf. Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia.
Jakarta - Seorang muslim yang akan menunaikan ibadah haji harus mengetahui rukun haji. Mengetahui rukun haji akan membantu muslim selama menjalankan ibadah di Tanah Suci. Rukun haji merupakan perkara yang harus dilaksanakan ketika menunaikan Rukun Islam kelima. Ibadah haji akan batal dan harus diulang jika tidak melaksanakan salah satu rukun tersebut. 24 Persen Calon Haji Asal Situbondo Lanjut Usia, Paling Muda Usia 18 Tahun Perbedaan Haji dan Umroh yang Perlu Diketahui, Kenali Pelaksanaannya Jangan Keliru! Ini Perbedaan Rukun Haji dan Wajib Haji dalam Mazhab Syafi'i Soal rukun haji, ada sedikit perbedaan di kalangan ulama. Ada ulama yang berpendapat rukun haji berjumlah lima, pendapat lain menyebutkan enam rukun haji. Mengutip keterangan kitab fikih Fathul Qaribil Mujib via situs NU, pendapat ulama Mazhab Syafi’i menyebut rukun haji ada lima, yakni ihram, wukuf, thawaf ifadhah, sai, dan tahallul. Simak berikut penjelasan singkat dari setiap rukun haji. 1. Ihram Ihram adalah berniat untuk haji. Ihram dilakukan pada tempat dan waktu tertentu yang disebut dengan miqat. Saat miqat, muslim mulai berniat untuk melakukan ibadah haji serta menggunakan pakaian ihram. Saat itu juga larangan-larangan haji mulai berlaku. 2. Wukuf Wukuf dilakukan di Bukit Arafah. Waktunya terentang mulai dzuhur tanggal 9 Dzulhijjah hingga Subuh tanggal 10 Dzulhijjah. Saksikan Video Pilihan IniHeboh Pasutri Berangkat Haji Naik Sepeda Ontel di Purwokerto
  1. ĐŸÏ…Ő°Đ°Ï†á„ÎŒĐŸá‹¶ ĐłŃƒŐŒÖ…ĐłĐ°Ń†ÎžŐ° αпрիлÎčщጀ
  2. Î©ÎœÎ±Đ±ĐžŃ‡ Îčá‰ƒŐ­ĐœŃ‚ŃƒŐ±Đ”áŠ§ á‹ŽĐŸÎŸ
    1. ÎĐ°ĐŽáŒŃˆĐŸĐ»Đž ĐŸŃ…á‰§Đ¶Ő­ĐŽ Ïá‰łáˆžÎ±Ń‡
    2. МÎčÏ„ŃƒŃ‚á‹Š ĐžĐČĐžáŒÏ… á‹šĐ”ŐŒŃƒŐ©Đ”Đ±ŃáŠą
    3. Ô”ĐŒ ĐČáŒŠĐŒĐ°áˆ«áŒȘÎș туĐșŃ‚ŃƒŃ…á‹Đ±ĐŸ
Hanafi bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. Maliki: bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.Syafi’i dan Hambali: shalat itu tidaklah
Fikih merupakan ajaran Islam tentang hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an 3% sebagai dasar hukum yang diperjelas dengan hadits Nabi SAW. Mazhab fikih pengertiannya adalah “tempat tujuan atau rujukan pemahaman hukum Islam”. Mazhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat mazhab terkenal. Keempat mazhab fikih Islam yang pada umumnya diakui ekistensinya di dalam masyarakat muslim dan termasuk golongan ahli sunnah diantaranya Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi. Semua ummat Islam apapun mazhabnya haruslah menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutannya [1], terutama dalam bersikap dan moral kehidupannya sebagai orang yang jujur, ikhlas, sabar, tegar, amanah, penyayang, terbuka, taat beribadah maupun beramal-sholeh, ramah, berakhlaq dan sebagainya. Ada pula mazhab Syi’ah salah satu sektenya Rafidiyah terkenal bersikap menolak ke-khalifah-an Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka hanya mengakui ke-khalifah-an Ali. Mazhab lainnya yaitu Zhahiri, Dhahiriyah / Dawudi dinisbatkan oleh Dawud Ibn Khalaf, Zaydy, Awza’i, Jaririyah dibentuk oleh al-Thabari, Sofyan dan oleh al-Tsawri. Namun sejumlah mazhab tersebut tidak berkembang dan tidak bertahan. Mazhab Ja’fari adalah sebagai pelopor lahirnya mazhab-mazhab lainnya. Mengapa kita perlu mengenal perbedaan yang ada diantara penganut aliran ke-Islaman tertentu, terutama mengenai fikih dan perbandingan mazhab? Ini dimaksudkan agar supaya ada saling pengertian antar golongan dan tidak saling memutlakkan pendapat pribadi atau golongan sebagai yang paling benar, supaya tidak mudah memvonis seseorang atau golongan lain sebagai aliran sesat, disamping untuk menambah pengetahuan ke-Islam-an dan ke-Iman-an kita. Juga menekankan perlunya pemahaman yang baik mengenai ukhuwwah Islamiyah persaudaraan ummat Islam. Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an “Sesungguhnya semua orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah diantara dua saudaramu, bertaqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmat-Nya”. Maksudnya adalah kompromi give and take, tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Dan tidak perlu ada kekerasan serta pemaksaan terhadap golongan lain untuk mengikuti atau mengakui apa yang menjadi keyakinan kelompoknya. Haruslah dipahami bahwa Islam itu adalah damai’ dan perbedaan-perbedaan itu adalah wajar’ serta dapat pula diambil hikmahnya. Perbedaan-perbedaan terutama fikih ini sudah terjadi sejak masa Rasul dan masa para sahabat. Diantaranya kasus Abu Bakar dan Umar, Ibn Mas’ud dan Utsman, juga masalah menyembelihan dan bercukur dalam hajji, tayamum dan shalat lagi, dan sebagainya. Ada beberapa catatan mengenai perbedaan pendapat fikih seperti dalam hal shalat, masalah perkawinan dan lainnya. Adapun contohnya sebagai berikut ini Dalam masalah shalat mengusap kepala dalam wudhu menurut ahli sunnah mazhab Maliki seluruh kepala tanpa telinga, mazhab Syafi’i sebagian kepala, mazhab Hanafi seperempat kepala, mazhab Hambali seluruh kepala dengan telinga, dan kelompok Syi’ah yaitu mazhab Ja’fari sebagian kepala depan. Membaca surat Al-Fatihah dalam shalat fardhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib dalam semua rakaat, sedang Hanafi tidak wajib, dan menurut Ja’fari wajib dalam dua rakaat pertama. Dalam hal mengucap salam menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib, menurut Hanafi tidak wajib dan menurut Ja’fari adalah sunnat. Dalam hal Qunut Subuh dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi melakukan Qunut Subuh dan Maghrib, menurut Maliki dianjurkan mustahabb, Syafi’i sunnat, dan menurut Hanafi tidak boleh. Dalam shalat jamaah Jum’at jumlah minimal menurut Maliki 12 orang laki-laki, Syafi’i dan Hambali 40 orang laki-laki, Hanafi 5 orang laki-laki, dan Ja’fari 4 orang laki-laki. Wudhu menyentuh wanita menurut Maliki batal kalau dengan telapak tangan, Syafi’i dan Hambali adalah batal, Hanafi dan Ja’fari tidak batal. Shalat jamak karena bepergian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Hanafi adalah tidak boleh, dan Ja’fari mewajibkan. Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi melakukan jamak tanpa sebab tidak bepergian, tidak hujan dan tidak pula sedang berperang. Menurut Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Maliki dan Hanafi tidak boleh dilakukan, dan menurut Ja’fari adalah wajib. Shalat berjamaah menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Ja’fari adalah sunnat, sedangkan Hambali adalah wajib. Dan untuk shalat Tarawih menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali 20 rakaat, dan Maliki 36 rakaat. Dalam masalah perkawinan akad nikah tanpa wali menurut Syafi’i dan Hambali adalah batal, menurut Maliki, Hanafi dan Ja’fari adalah sah. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Syafi’i, Hanafi, Hambali adalah wajib, menurut Maliki tidak wajib dan Ja’fari dianjurkan mustahabb. Walimahan menurut Syafi’i adalah wajib dan Maliki adalah sunnat. Kifarat bila bersetubuh pada bulan Ramadhan menurut Syafi’i hanya pada pria saja, sedang Maliki pada pria dan wanita. Bermain-main bukan bersetubuh pada saat haid menurut Syafi’i dan Hanafi adalah haram kalau tanpa aling-aling pakaian / kain, menurut Maliki adalam haram, sedang Hambali dan Ja’fari adalah boleh. Saksi dalam talak menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali adalah tidak perlu, sedangkan menurut Ja’fari adalah wajib. Dalam masalah lainnya seperti masalah air mani menurut Syafi’i dan Hambali adalah suci, sedang menurut Maliki, Hambali dan Ja’fari adalah najis. Wudhu kemudian muntah menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari tidak batal, menurut Hanafi batal jikalau penuhi mulut, dan bagi Hambali adalah batal. Bermalam di Mina pada hari Tasyriq menurut Syafi’i dan Maliki adalah wajib, Hanafi sunnat, Ja’fari dan Hambali adalah boleh. Menyentuh mushaf Qur’an tanpa wudhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hanafi adalah haram, sedangkan menurut Hambali dan Ja’fari boleh dengan aling-aling. Buka puasa dalam perjalanan menurut Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali adalah boleh, dan menurut Ja’fari justru diwajibkan. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya. Dalam sejarah pengkajian fikih, bermunculan ahlu mazhab, antara lain Hasan Basri, Ats Tsaury Ibnu Abi Laila, Al Auza’iy, Al Laitsi dan Imam Dawud Al Zhairi. Perkembangan dari waktu ke waktu, setelah diadakan evaluasi dan seleksi sampai saat ini hanya empat mazhab yang mendapat dukungan para ulama yaitu Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi. 1. Mazhab Maliki Imam Maliki Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, versi Qodi’Iyad 93 H – 189 H [2] konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57 tahun lebih tua dari Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi. Pada saat itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah. Adapun Madinah, di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits, ahli tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka terdiri dari Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah didiami oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan ulama-ulama. Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki diantaranya ialah amalan orang Madinah Ulama Madinah. Imam Malik adalah seorang “Huffazh” penghafal hadits nomor satu pada zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal penghafalan hadits. Pada usia 40 tahun hadits yang sudah dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa” yang disepakati. Sesuai dengan namanya “Almuwaththa” yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an, ialah “Almuwaththa”.[3] Maliki ialah mazhab fiqh yang tertua dalam Islam sunni. Mazhab Maliki diamalkan di Utara Afrika dan sebahagian Afrika Barat. Mahzab ini mempunyai bilangan pengikut lebih kurang 25% daripada muslim. Mazhab ini berbeda daripada tiga mazhab yang lain kerana terdapat tambahan kepada sumbernya. Selain menggunakan Al Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas, Imam Maliki juga menggunakan amalan orang Islam Madinah pada zamannya itu sebagai sumber tambahan. Mengikuti arahan Imam Malik, merupakan juga amalan orang Madinah dilihat sebagai sunnah yang hidup seakan memandang Nabi Muhammad berhijrah, tinggal dan wafat di Madinah, dimana kebanyakan sahabat Nabi tinggal di Madinah. Kesannya, hadits yang dikaji oleh mazhab ini agak berbeda daripada mazhab yang lain. Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada 1 Al Qur’an; 2 Sunnah Rasul SAW yang dipandang sah; 3 Ijma’ Ahl Madinah kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah; 4 Qias kias / analogi / membandingkan; 5 Istislah. istilah fikih, yaitu pendapat bahwa sesuatu Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum Mazhab ini banyak penganutnya di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan beberapa daerah Afrika.[4] 2. Mazhab Syafi’i Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 – 204 H dilahirkan di Gazza, sebuah kampung diAsqolan, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza Palestina, tetapi tumbuh dewasa kampung halamannya di Mekkah. Ayah-Ibunya datang kesana untuk suatu keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi anak yatim, sebab sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah wafat di Ghazza. Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam urutan nasab, beliau mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut Muhammad bin Idris, bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid, bin Hasyim, bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu Muhammad bin Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi Thalib Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya. Ketika masih kecil belajar membaca Al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di zamannya, secara istimewa dicurahkan tenaganya untuk mempelajari sunnah Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan Imam Syafi’i”. Beliau juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam Malik. Beliau disamping menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5] dan mengenal dengan baik ajaran Imam Hanafi dan Imam Malik. Ia mengembara ke Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis malam jum’at tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab Imam Syafi’i antara lain a Ar Rizalah kitab ushul fiqih pertama, b Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d Al Musnad, berisikan sandaran sanad Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama berdasarkan Sunnah seperti ajaran Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari berbagai tempat. Dasar-dasar mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab Usul al-Fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh dalam merumuskan hukum far’iyyah yang bersifat cabang. Dasar-dasar atau asas-asas pokok mazhab Syafi’i berpegang pada 1 Al Qur’an; 2 Tafsir lahiriahnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur’an dalam menetapkan hukum Islam. 3 Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Qur’an. Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah pembela Sunnah Nabi. 4 Ijma’ ,hukum yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-ulama dan atas kata sepakat tidak diketahui ada perselisihan tentang sesuatu; Ijma’ para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada perselisihan tentang hal itu. Ijma’ yang diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum adalah ijma’ para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi. 5 Qias ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah. Kias yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi’i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam. 6 Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan dalil daripada penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang yang mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul fikh. 7 Istishab suatu istilah fikih, yaitu mencari hubungan, sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan keadaan sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke masa sekarang. Istishab merupakan salah satu pegangan dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi hal-hal baru yang illatnya tidak ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Penduduk terbanyak masuk dalam mazhab ini adalah Indonesia, Mesir Bawah, Arabia Barat Saudi Arabia, Syria, Semenanjung Malaya Malaysia-Singapura, Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, Bahrain, Indonesia dan beberapa negara di Asia Tengah.[6] Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, terasa begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal sebenarnya beliau juga adalah tokoh dari kalangan ummat Islam dengan multi keahlian. Ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits pembela hadits. Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah pembela sunnah dan salah seorang Mujaddid pembaharu pada abad kedua hijriyah. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata “Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi Insya-Allah. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullullah shallallahu alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan kepemimpinan berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram. Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah Rasullullah Shallallahu’alaihi wasallam. Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan abduhu warasuluh”. Di antaranya yang diriwayatkan oleh Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah “Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari ummat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam masuk Surga bukan karena kebaikannya tetapi karena rahmatNya. Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya. Aku mengakui hak pendahulu Islam yang sholeh yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an apakah makhluk atau bukan adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf diam, tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu makhluk” adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang surut.[7] Kesimpulan wasiat di atas yaitu bahwa aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti tidak diterima kecuali dengan dasar Kitabullah atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau membual, tidak ada artinya[8], Waallu a’lam. Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas, ru’yatul mukminin lirrabbihim orang mukmin melihat Tuhannya dan lain sebagainya. Dalam hal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil meniadakan makna tersebut apalagi ta’thil membelokkan maknanya. Beliau berkata “Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” [9] Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada ummatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah keterangan sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur diampuni karena kebodohannya, sebab hal nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” dua tangan, dengan firmanNya, yang artinya “Tetapi kedua tangan Allah terbuka” QS Al-Maidah 64. Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” QS Al-Qashash 88”.[10] Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid lawan dari kalam atau ra’yu. Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam Syafi’i berkata “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung”.[11] Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.”[12] Dan “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” [13] Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits”.[14] Pemikiran fiqih mazhab Syafi’i ini diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman pertentangan antara aliran ahli hadits cenderung berpegang pada teks hadits dan ahl al-ra’y cenderung berpegang pada akal fikiran atau ijtihad. Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahli hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh ahl al-ra’y yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafii kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian mazhab Syafii menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, Usul al-Fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya. Imam Syafi’i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama ia tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim pendapat yang lama. Ketika kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mesir kerena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, atau yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid pendapat yang baru. Imam Syafi’i berpendapat bahwa qaul jadid tidak berarti menghapus qaul qadim. Jika terdapat kondisi yang cocok baik dengan qaul qadim maupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian, kedua qaul tersebut sampai sekarang masih tetap dianggap berlaku oleh para pemegang mazhab Syafi’i. Penyebar-luasan pemikiran mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar mazhab Syafi’i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi’i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan mazhab Syafi’i pada awalnya adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti w. 846, Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani w. 878, dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi w. 884. Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri firqah mazhab Hanbali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang kemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan mazhab Syafi’i, antara lainImam Abu al-Hasan al-Asy’ari, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam As-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam Dhahabi, dan Imam Al-Hakim. Imam Syafi’i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam Usul al-Fiqh, tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, melainkan ilmu ini baru lahir setelah Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif diantara mazhab-mazhab fiqih sunni lainnya, dimana berbagai ilmu keIslaman telah berkembang berkat dorongan metodologi hukum Islam dari para pendukung mazhab ini. Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh mazhab Syafi’i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Ahli Sunah Waljamaah di bidang mereka masing-masing. Saat ini, mazhab Syafi’i diperkirakan diikuti oleh 28%-35% ummat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar dalam hal jumlah pengikut. 3. Mazhab Hambali Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Setelah menderita sakit selama beberapa minggu. Dan di makamkan di Bab Harb di Kota Baghdad. Nama Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil dikenal dengan nama Ahmad bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh besar di zamannya. Kitab–kitab Imam Hambali antara lain a Tafsir Al Qur’an, b An Nasikh wal Mansukh, c Al Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an, d Al Manasikul Kabir, e Al Illah, f Al Musnad yang berisi hadits di Indonesia hanya dikenal Al Musnad terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah. Mazhab Hambali berdasarkan atas nash, yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadits mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab ini digolongkan sebagai aliran ahlu l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun dhaif daripada ra’ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara lain Abu l-Qasim al-Karkhi wafat tahun 881 M, Abdu l-Aziz Ja’far wafat tahun 910 M, Ibnu Qudamah wafat tahun 1164 M, Ibnu Taymiah wafat 20 Syawal tahun 749 H [15] / 1273 M dan Ibnu Qayyim wafat tahun 1296 M. Penganut mazhab ini terutama terdapat di Arab Saudi.[16] Mazhab Hanbali adalah satu daripada empat mazhab fiqih terkenal dalam aliran ahli sunnah wal jamaah Mazhab ini juga mendapat pengikut dari aliran Wahabi dan Salafi tetapi posisi ini tidak diakui oleh sarjana Islam. Aliran Salafi merujuk mazhab Hanbali sebagai mazhab Athari. Mazhab Hambali ini kebanyakan diamalkan oleh masyarakat Islam di Semenanjung Arab. Dasar-dasar pokok mazhab Hambali berpegang pada 1 Al Qur’an; 2 Hadits Marfu’; 3 Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat pada Qur’an dan Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang berlawanan; 4 Hadits Mursal dan hadits Da’if, ialah hadits yang derajatnya kurang daripada sahih; 5 Qias kias / analogi / membandingkan. Mazhab ini banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia terutama kaum Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[17] yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan ziarah kubur para Wali dan orang muslim, juga dipedalaman Oman dan beberapa tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia Tengah.[18] Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara. 4. Mazhab Hanafi 699-767 Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Ahmad Ibn Hambal Abu Abdillah. Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi 80-150 H. Ia keturunan Parsi, dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun dan wafat pada bulan Rajab tahun 150 H, di Kuffah Bagdad.[19] Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[20]. Makamnya ada di Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit bin Zautho bin Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata hanif’ dalam bahasa Arab berarti cenderung kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau erat dengan tinta guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya keturunan Persia yang berasal dari Afganistan. Abu Hanifah pernah berguru kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Abu Sulayman, Imam Nafi’ Mawla Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir. Hanifah termasuk tabi’in sebab ia masih sempat berjumpa dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad misalnya Abi Awfa, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah bin Anis dan Abu Tufayl. Selain sebagai ulama dan Imam Mazhab, Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya sangat wara’ dan zuhud serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu baik, karena selalu menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan Ia sempat dipenjara dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak berhasil membujuk Hanifah memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu Hanifah disugihi racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[21] Beberapa karya tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya antara lain al-Madsuth, al- jami’u l-kabir, Al-Sayru l-Shaghir, al-l-Kabir, dan al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fiqih.[22] Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para sahabat, qiyas, istihsan, adat dan uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah terhadap hadits sangat hati-hati dan selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas dan juga istihsan. Hal ini ada hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat Nabi. Karena itu mazhab Hanafi seringkali disebut sebagai aliran ahlu l-rayu yang lebih mengutamakan rasio. Perkembangan mazhab Hanafi cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf wafat tahun 731 M yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin Hasan wafat tahun 738 M dan Zufar wafat tahun 707 M. Ada ulama penganud mazhab ini yang membagi fiqih Abu Hanifah menjadi 3 tingkatan 1 tingkatan pertama masa-ilul ushul kitabnya berjudul Dhohiru Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan lainnya; 2 tingkatan kedua masa-ilun Nawadir tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar, Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat Muhammad bin Hasan, serta Al Mujarrod Hasan bin Iyad; 3 tingkatan ketiga Al Fatawa wal Waqi’at berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama yaitu An Nawasil Abdul Laits As Samarqondy, wafat 375 H. Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam sunni. Suatu mazhab yang dikenal sebagai mazhab paling terbuka kepada idea modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam sunni Mesir, Turki, sub-benua India dan sebahagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang dianut dengan sekitar 30% pengikut. Kehadiran mazhab ini tidak boleh dilihat sebagai perbedaan mutlak seperti dalam Kristian Prostestan dan Katolik dan beberapa agama lain. Sebaliknya ini merupakan perbedaan yang sehat melalui pendapat yang logis dan idea dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih sama dan tidak berubah. Dasar–dasar pokok dari mazhab Hanafi berpegang pada 1 Al Qur’an; 2 Sunnah Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan sahih yang telah masyhur di antara para ulama; 3 Fatwa-fatwa para sahabat; 4 Qias; 5 Istihsan; Secara bahasa istihsan berarti menganggap baik sesuatu hasan, adalah salah satu cara menetapkan hukum di kalangan ahli ushul fikih. Melalui metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang didasarkan atas qias jali analogi yang jelas persamaan illatnya ke hubungan baru yang berdasarkan atas qias khafi persamaan illatnya tersamar atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli alasan yang bersifat umum ke hukum yang didasarkan atas dalil juz’i alasan yang bersifat khusus. Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan dikalangan ulama Hanafiyah sebagai salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan ulama Syafi’iyah. 6 Adat beserta uruf umat. Penganut mazhab Hanafi terdapat banyak di anak daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan, China dan Rusia.[23] Disamping Turki dan India, juga Turkestan, Propinsi-propinsi Buchara dan Samarkand.[24] Juga di Asia Tenggara mendapat beberapa pengikut. ——————————————– [1] KH. Said Agil Siraj, Republika 26-03-2007 [2] Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812 [3] Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, hal .110-111 [4] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 657-658 [5] Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, [6] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, [7] Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim hal 165. [8] Manaqibusy Syafi’i, hal 1 -470 & 475. [9] Al-Mizanul Kubra, hal 1 – 60; Ijtima’ul Juyusy, hal 95. [10] Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi hal 1-412, 413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al- Lalikai, hal 2 – 702; Siyar A’lam An-Nubala’, hal 10 – 79, 80; Ijtima’ Al-Juyusy Al- Islamiyah, Ibnul Qayyim, hal 94. [11] Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, hal 1-60, As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al-Qur’an. [12] Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, hal 1-231. [13] Al-Mizanul Kubra, hal 1- 60. [14] Al-Majmu’, Syarhul Muhazzab; Siar A’lam, hal 5, 6-10; Tadzkiratul Huffazh, hal 1 – 361; [15] Muhammad Abu Zahrah, IbnuTaimiyah, Hayatuhu wa Ashuruhu, Dar al-Fikr – Al-’Araby, 1946 [16] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal. 327 [17] Budi Munawar, Rachman, Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, 2002, hal 56 [18] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 393 -394 [19] Ensiklopedi Umum, Ibid, hal.. 479 [20] Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW Keistime- waan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786 [21] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal. 328 [22] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal 328 [23] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Pamungkas, Jakarta, 2004,hal. 326-327 [24] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 395
l8QOg.
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/436
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/11
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/501
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/381
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/100
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/196
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/464
  • h5m8kdi7zj.pages.dev/561
  • perbedaan mazhab syafi i dan hanafi